![[KH%2520Sahal%2520dan%2520SBY%255B4%255D.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIthGCJYuJ3HDWPCro4-Rg6jRtrlNNvjvTQ0M_Cc1YxPs64rMzTYIEyHOEFmEgNVSlyJT7dELD0PpSoDfBdZcl4OIVcVjXgLC3cTosvPYtc80e2tY5ZcR4RfsotYfiQQEU8IGzxdBltsFK/s1600/KH%252520Sahal%252520dan%252520SBY%25255B4%25255D.jpg)
Kiai
Sahal, ulama dan intektual Islam langka yang karismatik, bersahaja, dan
tawadu’. Intelektualitasnya bukan hanya diakui di Indonesia saja, namun
juga di Timur Tengah. Buku-bukunya bukan hanya dikaji di Indonesia
saja, namun juga di Timur Tengah.
Kiai Sahal
telah mendahului kita, namun selayaknya ulama besar Islam lainnya,
beliau akan selalu hidup, diingat, dikenang bahkan dipikirkan dan
disebutkan berulang melalui pemikiran-pemikirannya, karya-karyanya yang
akan terus dikaji-kembangkan oleh para penerus beliau. Catatan sederhana
ini adalah diantara upaya untuk sedikit mengkaji pemikiran beliau yang
luas itu, khususnya dalam bidang nalar hukum Islam (fikih) Indonesia.
Nama
lengkap beliau adalah Muhammad Achmad Sahal bin Mahfudz. Lahir di
Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Pengasuh
Pondok Pesantren Maslakul Huda ini adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dari tahun 2000 hingga beliau meninggal. Dalam Muktamar NU di
Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/3/2010),
untuk ketiga kalinya beliau kembali didaulat menjadi Rais Am PBNU masa
bakti 2010-2015.
Kiai yang juga santri dari
Syekh Yasin Al Fadani ini tergolong produktif. Banyak karya tulis beliau
yang sampai saat ini masih terus dikaji, baik dalam Dunia Pesantren
maupun Akademis. Menurut beberapa sumber juga dikaji di Timur Tengah,
seperti di Universitas Qur’anul Karim, Sudan. Karya-karya beliau
diantaranya adalah:
1. Tharîqah al Hushûl ‘ala Ghâyah al Wushûl (Surabaya: Diantama, 2000); 2. Al Bayân al-Mulamma’‘an Alfaz al Luma’
(Semarang: Thoha Putra, 1999); 3. Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan
KH. MA. Sahal Mahfudh (Semarang: Suara Merdeka, 1997); 4. Nuansa Fikih
Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994) ; 5. Pesantren Mencari Makna (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999); 6. Ensiklopedi Ijma’ (terjemah bersama KH.
Mustofa Bisri dari kitab Mausû'ah al-Ijmâ’(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987); 7. Faidhu al-Hijâ ‘ala Nail al-Rajâ (1962); 8.Al Tsamarah al Hajainiyah, (Nurussalam, 1966); 9.Intifâkh al-Wadajain ‘inda Munâdhârâh Ulamâ al-Hajain (1959); 10.Luma’ al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmât (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati); 11. Al-Faraid al-Ajibah,
(Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati, 1959) ;12. Penulis kolom “Dialog
dengan Kiai Sahal” di harian Duta Masyarakat; 13. Dan masih banyak
karya-karya beliau yang lain, baik risalah ataupun makalah, yang
sekiranya tak perlu penulis sebutkan di sini semuanya.
Nalar Fikih Kiai Sahal
Secara
sederhana, jika mengacu tipologisasi bahwa dalam pemikiran hukum Islam
(fikih) ada dua kecenderungan besar: “adaptabilitas hukum Islam” dan
“normativitas hukum Islam” maka, pemikiran fikih Kiai Sahal termasuk
tipe pertama, “adaptabiltas hukum Islam”.Yakni, kecenderungan yang
berpandangan bahwa fikih harus dan mampu beradaptasi dengan perkembangan
zaman dan perubahan tempat, fikih harus senantiasa berubah manakala
situasi dan kondisinya berubah. Sementara kecenderungan kedua adalah
sebaliknya.
Mengacu tipologisasi lain yang lebih rinci, diantaranya tipologi yang dibangun Al-Qaradhawi dalam bukunya Dirâsah fî Fikih Maqâshid Syari’ah, bahwa dalam pemikiran fikih kontemporer ini ada tiga madrasah pemikiran: pertama, literalis-tekstualis (al-harfiyyûn)
yang memahami teks-teks keagamaan secara literal-tekstual, tanpa
mempertimbangkan makna atau tujuan dibalik teks. Madrasah ini disebut
oleh Al-Qaradhawi sebagai al-Dhâhiriyyah al-Judud (neo-literalis) yang mewarisi Dhâhiriyah klasik dalam kejumudan dan pemahaman literal-tekstual terhadap teks, bukan dalam keluasan ilmuanya.
Kedua,
adalah kebalikan dari madrasah pertama.Ketika madrasah pertama
cenderung literalistik-tekstualistik maka, madrasah kedua ini justru
terlalu kontekstual, mengesampingkan teks, mendewakan makna di balik
teks, berpandangan bahwa agama adalah substansinya, bukan bentuk
lahirnya, tak segan meninggalkan teks-teks yang bersifat qsth’iy
(definitif). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah kedua ini
adalah madrasah yang cenderung abai terhadap teks dan mendewakan makna
dibalik teks.
Ketiga, adalah madrasah wasathiyyah
(moderat) yang menengah-nengahi dua madrasah di atas. Madrasah ini tak
memahami teks secara literal-tekstual namun juga tidak mendewakan makna
di balik teks sehingga mengesampingkan teks.Akan tetapi, berusaha
memberikan kepada keduanya porsinya masing-masing secara seimbang. Nah, kedalam madrasah ketiga inilah pemikiran fikih Kiai Sahal dapat dikelompokkan.
Pemikiran
fikih Kiai Sahal termasuk katagori kecenderungan pertama:
“adaptabilitas hukum Islam”—dalam tipologisasi pertama—atau termasuk
madrasah ketiga (wasathiyah/moderat)—tipologisasi kedua—nampak jelas dari beberapa pandangan beliau, dianataranya beliau mengatakan, "Rumusan
fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk
menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik
dan kebudayaanya sudah berbeda.Dan hukum sendiri harus berputar sesuai
ruang dan waktu…" dan "Karena produk ijtihad maka keputusan
fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi
sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan
fikih jelas keliru."
Selain itu, juga bisa
dilihat melalui beberapa karya beliau. Khususnya “Nuansa Fqih Sosial”
yang cukup monumental, dimana buku ini dalam tipologi Mahsun Fuad
melalui bukunya yang berjudul Hukum Islam Indonesia, termasuk
berkecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi responsi-kritis emansipatoris.” Kemudian,
melihat dari temanya (fikih sosial) nampak bahwa beliau, bersama para
ulama dan intelektual Islam dunia lainnya, sedang berjalan di atas
kecenderungan besar kajian fikih kontemporer, yakni kajian dengan metode
tematik (maudhû’iy).
Kecenderungan
pemikiran beliau yang seperti di atas ini sebenarnya wajar jika melihat
bahwa beliau adalah ulama NU-tradisionalis (bahkan Rais Am PBNU sampai
wafatnya) yang memang—menurut penulis—“benar-benar” berpegang teguh
dengan kaidah dasar NU, yakni: al-muhâfadhah alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd al-ashlah.
Penulis katakan “yang benar-benar berpegang teguh” karena di selain
tangan belaiu kaidah tersebut cenderung hanya digembor-gemborkan sebagai
slogan belaka, tanpa diamalkan dengan sesungguhnya dalam realitas nyata
kekinian.
***
Masuk
lebih dalam ke pemikiran fikih Kiai Sahal, mengembangkan tipologi yang
telah dibangun Mahsun Fuad dalam bukunya di atas, bahwa dilihat dari
sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunanan maka,
pemikiran fikih Kiai Sahal adalah dengan metode“kontekstualisasi-mazhabi”.
Yakni, sebuah upaya membangun “fikih baru” dan mengembangkannya melaui:
mengkontekstualkan tradisi fikih klasik (mazhab). Baik dicapai dengan
mengkontekstualkan pendapat-pendapat verbal ulama klasik (qauliy)
yang masih dianggap relevan, mau pun dengan mengaplikasikan metodologi
yang dirumuskan ulama aklasik seperti: ushul fikih dan qawa’id fikihiyah
(manhajiy).
Melalui metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini Kiai Sahal ingin memperbaharui (tajdîd)
fikih dan mengemasnya menjadi paket “fikih baru” yang sesuai denagn
tuntutan ruang dan waktu sehingga layak dikonsumsi. Kecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini bisa dilihat semisal melalui peryataan belau; “Di
sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir
permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk
itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang
dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa'id (kaidah-kaidah fikih).”
Berbeda dengan metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” dimana pengembangan fikih cenderung masih banyak berkutat dalam ruang-lingkup khazanah tradisi fikih klasik—dengan metode qauliy dan manhajiy-nya--, sebagaimana disebutkan oleh Mahsud Fuad, adalah metode “rekonstruksi-interpretatif”
yang dikembangkan oleh Masdar F. Mas’udi (dalam Agama Keadilan),
Munawir Sjadzali (dalam Reaktualisasi Ajaran Islam) dan Hazairin (dalam
FikihMazhab Nasional). Yakni sebuah metode yang mengupayakan pembangunan
“fikih baru” dan mengembangkannya, dimana sudah mulai mengaplikasikan
metode-metode alternatif modern, seperti antropologi dll. (Mahsun Fuad:
2005 : 241)
Corak pemikiran fikih Kiai Sahal,
selain bisa dilihat dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum
yang digunakan, juga bisa dilihat dari sisi responsifnya--baik
responnya terhadap sosial kemasyarakatan maupun sosial-politik—dan dari
sisi implementasinya. Dari kedua sisi responsif dan implementasinya ini,
menurut penulis, kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal sebenarnya
tak jauh beda dengan kecenderungan umum pemikiran fikih dalam tubuh
Nahdhatul Ulama (NU)--hanya progres dalam berfikirnya yang sedikit
membedakan dari yang lain. Kecenderungan tersebut adalah, dari sisi
responsifnya, fikih lebih dimaksudkan sebagai medium kritik atas
fenomena sosial-kemasyarakatan dan politik. Dari sisi implementasinya,
fikih lebih sebagai medium kontrol sosial, bukan untuk diformalkan
menjadi hukum positif negara.Yang demikian ini tak lepas dari watak
dasar NU yang merupakan organisasi sosial-kemasyarakatan-keagamaan,
bukan organisasi politik.
Dari kedua sisi
inilah—responsi-kritis dan implementasinya—Mahsud Fuan membahasakan
kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal dengan “responsi-kritis emansipatoris.”
Sampai disini, dapat dirumuskan secara sederhana bahwa pemikiran fikih
Kiai Sahal, dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang
digunakan, dari sisi respon-kritisnya, dan dari sisi
implementasi-emansipatorisnya maka, dapat katakana bahwa pemikiran fikih
Kiai Sahal adalah berkecenderungan“kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy, responsi-kritis-emansipatoris.” Kecenderungan ini tak berubah—dalam pengamatan pendek penulis—sampai belaiu meninggal.
***
Selanjutnya,
berikut penulis kutipkan pandangan-pandangan beliau terkait nalar fikih
yang menurut penulis cukup progresif, moderat, bijaksanana dan
menunjukkan kedalaman ilmu beliau. Pandangan-pandangan beliau di bawah
nanti akan semakin mendukung tesis-tesis penulis di atas, yang secara
umum bisa dikatakan bahwa Kiai Sahal sedang berupaya memperbaharui (tajdîd) pemikiran fikih (Indonesia). Berikut penulis ketipkan:
"Bagaimana
pun rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak
memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi
sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus
berputar sesuai ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada
rumusan teks (klasik), bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak
ditemukan dalam rumusan tekstual fikih?Apakah harus mauquf (tak
terjawab)?Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama
(fuqaha). Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir
permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.Dan untuk
itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang
dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa'id (kaidah-kaidah
fikih).Pemikiran tentang perlunya "fikih baru" ini…karena adanya
keterbatasan kitab-kitab fikih klasik dalam menjawab persoalan
kontemporer disamping muncul ide kontekstualisasi kitab kuning.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 :xiv-xv)
Pada halaman yang lain beliau mengatakan, "Rumusan
‘fikih baru’ ini kemudian dibahas secara intensif pada Muktamar ke-28
di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama
di Lampung,1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan
perlunya bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan
para Kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk
beristinbath langsung dari teks dasar.Jika tidak mampu maka diadakan
ijtihad jama'i (ijtihad kolektif).Bentuknya bisa istinbath (menggali
dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas). Pengertian istinbath
al-Ahkâm di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari
aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi—sesuai dengan sikap
dasar bermazhab—mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash
fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya." (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xv-xvi).
Melalui
pernyataannya diatas, beliu ingin menyadarkan “kita” bahwa banyak
persoalan baru yang hukumnya belum dibahas oleh ulama klasik. Ini sangat
logis, sebab kehidupan terus berjalan, sehingga persoalanbaru pun terus
bermunculan. Semisal saja hukum handpone (HP) yang di dalamnya terdapat
mushhaf al-Qur'an. Penulis masih teringat ketika dalam suatu Bahstul
Masail yang penulis ikuti--yang menjadikan permasalahan ini sebagai
deskripsi masalahnya—tak ada peserta yang mempu menyodorkan dalil verbal
ulama klasik (ibârah, dalam bahas pesantren) yang sharîh (jelas) dari kitab-kitab klasik. Akhirnya, pembahasan pun di-mauquf-kan
(diberhentikan).Ini wajar, sebab, pada masa klasik, fenomena al-Qur’an
dalam HP belum ada. Dan, persoalan semacam ini sebenarnya hanya bisa
diselesaikan secara motodologis.
Oleh sebab itu, menurut beliau, disamping kita bermazhab secara qauliy (tekstual) juga harus bermazab secara manhajiy
(metodologis).Namun agaknya, seruan Kiai Sahal agar—NU
khususnya—bermazhab metodologis ini belum mendapatkan respon serius. Ini
dibuktikan dengan masih minimnya perhatian terhadap kajian-kajian
metodologis, khususnya ushul fikih di kalangan NU.Minin sekali kita
jumpai forum Bahtsul Masail yang orientasinya adalahmanhajiy.
Dalam halaman yang lain beliu menyatakan, “fikih
itu merupakan prodok ijtihad. Karena produk ijtihad maka keputusan
fikih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi
sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan
fikih jelas keliru.Dimana-mana yang namanya fikih adalah "al-Ilmu bi
al-ahkâm al-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ
al-tafshiliyyah". Definisi fikih sebagai al-muktasab (yang digali)
menunjukan pada sebuah pemahaman bahwa fikih lahir melalui serangkaian
proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada
akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis ... Semua itu menunjukan bahwa
fikih "produk ijtihadiy". Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya
fikih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik
dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatar belakangi hasil
penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan.Para peletak dasar
fikih, yakni imam mazhab (mujtahidîn) dalam melakukan formasi hukum
Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Qur'an dan Hadits)
namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks likungan keduanya
baik asbab al-nuzûl maupun asbab al-wurûd.Namun konteks lingkungan ini
kurang berkembang dikalangan NU. (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xx).
Dari pernyataan beliau bahwa “keputusan
fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi
sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan
fikih jelas keliru” nampaknya beliau ingin mendesakralisasi
fikih.Sebab, disamping ‘sakralisme’terhadap fikih berpotensi melahirkan
taklid buta dan fanatisme bermazhab yangakan berdapmpak terkikisnya
kepekaan kita terhadap perkembangan zaman, juga menjadi salah satu
penyebab keengganankita untuk lebih memperhatikan ushul fikih yang
notabene lebih penting daripada fikih itu sendiri.
Ketika
kita telah terbelenggu keyakinanbahwa produk fikih (klasik) adalah
kebenaran mutlak yang telah menyentuh segala persoalan klasik dan modern
maka, entah disadari atau tidak, akan mengurangi perhatian kita
terhadap usul fikih. Lalu, karena kurang perhatian inilah kemudian ushul
fikih bisa stagnan. Dan, jika ushul fikh stagnasi maka, bisa dipastikan
fikih tak akan pernah berkembang dan tak akan pernah ditemukan "fikih
baru" seperti yang Kiai Sahal harapkan. Sebab, ushul fikih adalah pabrik
pemroduksi fikih. Jika pabriknya mandek, tak lagi beroprasi, maka
dipastikan disana tidak akan pernah ada produksi. Sehingga yang akan
terjadi adalah ‘krisis hukum fikih’. Sementara produk lama telah usang.
Selanjutnya kritik Kiai Sahal atas sempitnya kriteria kitab-kitabmu’tabarah. Beliau mengatakan,"Dalam
konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi
hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan
semangat fikih sebagai produk ijtihad.Mengapa demikian? Sebab kriteria
mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti di situ ada pandangan yang
mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain.
Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihâd yâ yunqadhu bi al-ijtihâd" di
atas….Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab, juga
kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan sunni.
Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya
gara-gara dalam bab tawasul kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali,
lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana
yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xx-xxi)
Dari
semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beliau melalaui
pemikiran-pemikiran progresifnya tentang “fikih baru” sedang
mengupayakan pembaharuan nalar fikih Indonesia, khususnya dikalangan
internal NU dan pesantren-pesantrennya.
Itulah
sekilas ulasan dari luasnya pemikiran Kiai Sahal yang sebenarnya tak
memadahi dikaji dalam 3-4 halaman saja. Sehingga, pereduksian yang tak
disengaja sangat mungkin bisa terjadi dalam kajian singkat
ini.Membutuhkan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus halaman hanya untuk
mengkaji lebih dalam, komprehensif serta objektif pemikiran beliau .Oleh
sebab itu, tulisan ini pun dimaksudkan sebatas untuk memberikan sedikit
gambaran umum pemikiran beliau dalam bidang fikih saja, meski pun,
mungkin, belum mampu memberikan sedikit gambaran umum itu. Pada
akhirnya, segala kekurangan dan kekeliruan dalam catatan ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Teruntuk guru kita bersama, Kiai
Muhammad Achmad Sahal Mahfudh. Lahul fâtihah…
Sumber bacaan:Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Mahsun Fuad), Kritik Nalar Fikih ; Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail (Lakpesdam NU) ; Dirâsah fî Fikih Maqâshid al-Syarî’ah (Yusuf Al-Qaradhawi); Nuansa Fiqih Sosial (KH. Sahal Mahfudh), Situs Resmi MUI dan beberapa sumber media online lainnya.
Muhammad Amrullah, koordinator umum Lembaga Bahtsul Masail dan anggota Lakpesdam NU Mesir
Sumber : NU.co.id
0 komentar:
Posting Komentar