Blogger news

Rabu, 02 Mei 2012

KH. Abdul Hamid Pasuruan



Mbah Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.

Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.

Dipondokkan

Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.

Tidak Suka Dipuja

Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.

Fenomenal

Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.

Hormat

Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”


 

0 komentar:

Posting Komentar

Follow us

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.