Kelahiran dan keluarganya
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita
ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim
bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal
dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu
Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab
yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan
kota
kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan
kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum,
namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas.
Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan
al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan
Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan ” : “Ayahku bercerita
kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili,
lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah
menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya,
lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam
lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama
fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat
tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar
al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu
kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh
banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa
arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para
Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat
kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” :
“Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi
mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’
yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim
fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu
aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril
telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika
orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu
menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau,
maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi
mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang
yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus
sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi
orang yang alim fiqih ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai
seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari
didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh
karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah
menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai
pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan
lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau
terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli
tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu
Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari
Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”.
Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi
mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara
dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan
sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia
bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan
berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah
keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia
jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari
gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini.
Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan.
Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci
tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas
al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan
diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa
yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka
semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini
menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak
ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang
kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat
al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung
dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa
bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya
semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi.
Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi
sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan
seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun
demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap
guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan
ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam
hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di
kota Qous aku mempunyai
kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan
sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita.
Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku
meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku
memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk
diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.
Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah
ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”.
Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus
angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja
melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan
oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari
Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan
Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan
kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia
membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan
(hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan
cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan
menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan
uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan
khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan,
kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan
dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah
yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya
sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak
ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian,
pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini
ia emban di samping tugas mengajar di
kota Iskandariah. Maka ketika
pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema
yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan
dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu.
Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol
kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu
Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar,
dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat
mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat
mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau
mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan
tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki,
pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan
sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu,
mantiq, falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah
mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar
ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka
ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam
liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada
diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini
Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah
ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah
satu murid beliau berangkat haji. Di
sana si murid itu melihat Ibn
Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang
maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid
langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?”
lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di
sana “.
Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu
bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang
tanah, dia pasti menjawabnya”.
Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun
tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus
beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta.
Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah
jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo
dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di
pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita
ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim
bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal
dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu
Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab
yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan
kota
kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan
kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum,
namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas.
Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan
al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan
Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan ” : “Ayahku bercerita
kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili,
lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah
menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya,
lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam
lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama
fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat
tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar
al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu
kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh
banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa
arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para
Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat
kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” :
“Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi
mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’
yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim
fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu
aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril
telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika
orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu
menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau,
maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi
mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang
yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus
sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi
orang yang alim fiqih ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai
seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari
didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh
karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah
menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai
pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan
lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau
terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli
tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu
Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari
Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”.
Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi
mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara
dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan
sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia
bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan
berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah
keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia
jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari
gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini.
Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan.
Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci
tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas
al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan
diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa
yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka
semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini
menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak
ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang
kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat
al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung
dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa
bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya
semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi.
Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi
sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan
seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun
demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap
guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan
ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam
hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di
kota Qous aku mempunyai
kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan
sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita.
Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku
meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku
memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk
diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.
Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah
ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”.
Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus
angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja
melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan
oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari
Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan
Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan
kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia
membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan
(hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan
cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan
menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan
uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan
khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan,
kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan
dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah
yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya
sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak
ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian,
pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini
ia emban di samping tugas mengajar di
kota Iskandariah. Maka ketika
pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema
yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan
dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu.
Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol
kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu
Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar,
dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat
mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat
mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau
mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan
tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki,
pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan
sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu,
mantiq, falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah
mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar
ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka
ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam
liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada
diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini
Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah
ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah
satu murid beliau berangkat haji. Di
sana si murid itu melihat Ibn
Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang
maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid
langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?”
lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di
sana “.
Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu
bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang
tanah, dia pasti menjawabnya”.
Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun
tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus
beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta.
Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah
jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo
dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di
pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.